Menggali Kekuatan Anak


Pelajaran apa yang bisa kita petik dari tubuh ringkih Syaikh Ahmad Yassin? Jalan tak kuat, mata tak bisa melihat, suaranya lirih, tetapi ia mampu menggerakkan ribuan manusia. Kata-katanya berpengaruh, ucapannya didengar dan nasehatnya dihormati meski jasadnya sudah tidak ada lagi, akibat bom besar yang sengaja diledakkan oleh Israel. Kematiannya juga mengajarkan kepada kita bahwa tubuh ringkih itu lebih besar pengaruhnya daripada anak-anak muda yang tegap jalannya, sehingga untuk membunuhnya, Israel perlu menyiapkan bom-bom ukuran besar.

Apa yang bisa kita pelajari dari Jenderal Sudirman? Paru-parunya tinggal satu, melangkah dengan tegap ia tak mampu, tetapi acungan telunjuknya diikuti dengan patuh. Tubuhnya lemah, tetapi kepemimpinannya sangat kuat. Ia tak mampu melakukan orasi yang memukau, tetapi integritas pribadinya menjadi kekuatan yang menggetarkan lawan dan menggetarkan kawan. Ia adalah seorang pemimpin yang sangat berpengaruh.
Apa yang mengantarkan Habibie Afsyah Sukses menjadi pebisnis on line? Jari-jarinya cuma satu yang bisa dipakai mengetik, kakinya lumpuh, dan fisiknya lemah. Tetapi ia mampu menarik minat banyak orang untuk berbelanja on line melalui situs-situsnya. Ia bukan orang jenius, tetapi ia mampu mengembangkan potensinya secara jenial.

Kisah orang-orang besar ini mengajarkan kepada kita betapa keliru dan sesatnya peribahasa yang mengatakan, “Men sana in corpora sano. Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.” Justru sebaliknya, jiwa kitalah yang lebih menentukan. Jika jiwa kita sakit, maka tubuh yang kuat sekali pun tak dapat memberikan manfaat bagi hidup kita. Sebaliknya, tubuh yang kuat tidak dengan sendirinya menyebabkan jiwa yang sehat dan kuat. Bukankah banyak penjahat dan penipu yang badannya tegap, suaranya mantap dan bicaranya memikat? Tubuh mereka sehat, tetapi jiwa mereka ringkih dan sakit.

Sekali lagi, kita dapat mengambil pelajaran penting dari kisah yang lebih dramatis. Saya mendapatkannya dari buku yang bertajuk Saat Hidayah Menyapa yamh dihadiahkan oleh penulisnya, Ustadz Fariq Gasim Anuz kepada saya. Buku ini bertutur tentang ‘Abdullah bin Umar Bani’mah, seorang ustadz di Jeddah yang tidak mampu menggerakkan anggota badannya dengan baik. Ia lumpuh, lehernya patah sehingga menggeleng pun luar biasa sulit, suaranya tidak bisa lantang dan duduk di kursi roda pun bukan pekerjaan mudah baginya. Disbanding Syaikh Ahmad Yassin, ‘Abdullah bin Umar Bani’mah lemah fisiknya. Hanya saja ‘Abdullah bin Umar Bani’mah tidak mengalami kebutaan.

Tetapi…
Di balik ringkihnya tubuh ‘Abdullah bin Umar Bani’mah  yang rak berdaya, Allah Ta’ala memberikan kekuatan yang sangat besar dalam menggerakkan manusia. Banyak orang yang terinspirasi setelah mendengar ceramahnya. Bukan karena gaya bicaranya yang memukau. Bukan. Ia bukan seorang orator. Tetapi kata-katanya berpengaruh karena kekuatan jiwa yang menuturkannya. Isinya padat, penyampaiannya lugas, gaya bicaranya datar, dan tidak menggunakan trik-trik komunikasi publik yang memikat. Tetapu Alllah Ta’ala jadikan pembicaraannya sebagai wasilah (perantara) turunnya hidayah kepada ribuan jiwa manusia. Allah Ta’ala karuniakan kepadanya kekuatan berbicara yang berbobot dan menggetarkan.

Bercermin kepada kisah mereka, kita belajar bahwa kecerdasan saja tidak cukup, meskipun ia bernama kejeniusan. Kesempurnaan fisik saja tidak cukup, meskipun ia memiliki kemampuan melihat yang ketajamannya melebihi orang lain. Keterampilan saja tidak cukup, meskipun ia melakukan pekerjaan yang sangat rumit dalam waktu sekejar secara sempurna. Betapa banyak orang memiliki bakat berlimpah (jika anda percaya bakat itu ada) dan kemampuan yang menakjubkan, tetapi mereka gagal mengelola dirinya sehingga memeberi manfaat terbaik bagi dirinya, orang lain dan terutama agama ini.

Sebalinya, kita telah belajar dari sejarah masa lalu maupun kisah yang masih berlangsung hingga hari ini, betapa banyak orang yang memiliki setumpuk kekurangan dan hamper-hampir tidak ada kelebihannya sama sekali, tetapi mereka mampu mengukir kebaikan di atas lembar sejarah hidupnya karena jelasnya tujuan, kuatnya tekad, dan besarnya daya tahan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Mereka berhasil melakukan hal-hal besar bukan karena memiliki kamampuan sangat besar, tetapi karena besarnya penghargaan mereka terhadap hidup sehingga menjaganya dengan hati-hati agar dapat mempertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala di Hari Akhir nanti. Mereka menjaga nilai hidupnya dengan melakukan hal-hal yang member manfaat dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.

Mari kita tengok sejarah! Apa yang terjadi pada para Sahabat radhiyallahhu ‘anhum ajma’in? Lihatlah para bekas budak dan ahlus-suffah yang tak berdaya itu. Mereka dating menghadap raja, berbicara dengan penguasa negeri lain, dengan langkah tegap dan kepala tegak. Mereka memiliki harga diri yang tinggi dan kepercayaan diri yang sangat kuat. Sepeninggalan Rasulullah, para bekas budak itu telah menjadi orang-orang terhormat yang kata-katanya didengar dan nasehatnya dinanti.

Apa yang telah mengubah mereka? Iman. Perubahan yang menjadikan mereka berdiri sama tegak dan berbicara sama tegas. Bukan karena mereka pongah, tetapi karena mereka meiliki ‘izzah (harga diri) dan ‘Iffah (kendali diri) yang kuat.

Keimanan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla telah mengubah cara pandang mereka tentang manusia, sehingga mereka tidak rendah diri karena kekurangan dan tidak pongah karena kelebihannya. Mereka menerima segala kekurangan dan menyadari kelemahannya. Mereka menempatkan kelebihannya sebagai bukti kesempurnaan ciptaan-Nya yang harus dipertanggungjawabkan. Bukan untuk bertepuk dada dihadapan manusia. Begitu dengan urusannya dengan Allah Ta’ala, semuanya kecil karena hanya Allah Ta’ala yang Maha Besar. Dan semuanya besar sehingga tak ada yang boleh direndahkan tanpa hak, karena Allah Yang Maha Besar penciptanya.

Wallahu a’lam bish shawab.
Keyakinan kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan salah satu aspek yang berpengaruh besar terhadap kualitas pribadi seseorang. Perpaduan berbagai kualitas pribadi menjadikan seseorang sebagai sosok yang unik, berbeda dengan orang-orang lain. Inilah yang kemudian dalam psikologi disebut sebagai karakter. Inilah yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang, terutaman saat menghadapi situasi-situasi sulit dimana tak ada waktu bagi Anda untuk bersiap-siap, maka Anda tak punya waktu untuk berpura-pura. Anda akan menampilkan jati diri Anda apa adanya. Itulah yang menggambarkan sikap Anda sesungguhnya. 
Dan itulah karakter!

Jadi, karakter bukanlah serangkaian perilaku dan kebiasaan yang baik. Karakter merupakan serangkaian kualitas pribadi yang menjadikan diri kita sebagai manusia unik. Dan inilah kekuatan besar yang harus kita bangun dalam diri anak-anak kita. Kita menemukan apa yang sesungguh-sungguh panting, menginspirasikannya dan membangunnya hingga kokoh. Bukan mengajarkannya sebagai pengetahuan.

Nah.

Mohammad Fauzil Adhim, 
Suara Hidayatullah, 
Mei 2011, 
Kolom Parenting, 
hal 70-71

Kelik Isbiyantoro

| I'm Moslem, Writer, Statistician, Designer. | Humorous, Perfectionist, Artistic. | "Will be the heir to heaven Al Firdaus" |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar