Mengenal Ibu Profesional, Ibu Septi Peni Wulandari (1)

Suatu siang di Kota Salatiga, Jawa Tengah, tim redaksi Swadaya tiba di depan sebuah rumah. Di tembok bagian atasnya terdapat tulisan Jarimatika. Ketika itu, pemilik rumah dalam perjalanan pulang dari kediaman orangtuanya. Dari balik pagar, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki menyambut para tamu.



Setelah mengantar mereka ke pendopo di sudut taman belakang rumah, ia pun menawarkan sejumlah pilihan minuman. “Jangan jawab terserah, karena air kolam juga ada,” ujarnya bergurau kepada para tamu yang malu-malu menyebutkan pilihannya.

Kemampuan Berkomunikasi Anak

Memang luar biasa hasil didikan seorang ibu bernama Septi Peni Wulandani. Elan, anak bungsu tadi, tidak canggung ketika membantu ibunya menerima kehadiran tim redaksi Swadaya untuk sementara waktu. Bahkan, ia juga mampu beradaptasi dengan cara bergurau kepada para punakawan dari Bandung itu.

Menurut Septi, mendidik anak yang harus diperkuat terlebih dulu adalah iman, akhlak, dan adab. Setelah itu, memperkuat kemampuan berkomunikasinya. Anak harus bisa menyampaikan apa yang ada di dalam kepalanya, dengan cara yang mudah diterima oleh orang yang diajaknya bicara. Dengan kata lain, kita harus membebaskan rasa ingin tahu anak dan meningkatkan kualitas berpikirnya. “Sepintar apa pun anak kita, ia akan kesulitan kalau tidak memiliki kemampuan sharing,” ungkap pencetus metode Jarimatika ini.

Tentunya, mengungkap isi kepala tidak hanya mengandalkan kemampuan berbicara secara verbal. Tapi juga menulis, dan sebagainya. Perempuan kelahiran 21 September 1974 ini, lebih memfokuskan kemampuan verbal. “Alasannya karena saya dan suami senangnya mengobrol, maka kami melatih berbicara terlebih dahulu,” ujar Septi. Selain itu, dengan menumbuhkan keasikan mengobrol pada anak, berarti juga sama-sama belajar untuk mendengarkan dengan hati. “Apa pun, tetap harus dididik dan tidak bisa cuma diteorikan,” jelasnya.

Anggapan Umum yang Keliru

Septi meyakini setiap anak lahir dengan membawa modal dasar fitrah keimanan dan kemampuan intelektual. Ada pun iman, akhlak, adab, dan kemampuan berbicara anak harus ditingkatkan atau dididik dan diteladankan secara langsung. Untuk itu, siapa lagi yang lebih tepat menjadi pendidik utamanya jika bukan ibu?

“Ibu adalah guru pertama dan pendidik utama bagi anak. Keluarga merupakan ladang ibadah dan dakwah utama kaum perempuan. Rumah itulah kantor utamanya,” tutur Septi yang memutuskan melepas status pegawai negeri sipil (PNS) demi profesi ibu rumah tangga yang lebih mulia.

Seringkali profesi ibu rumah tangga dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Apalagi, jika perempuan yang memilih profesi tersebut berpendidikan tinggi. Bisa jadi ia semakin diremehkan. Karena anggapan umum bahwa seorang perempuan pasti menjadi ibu. Sehingga tidak perlu bersusah-payah belajar atau mempersiapkan diri.

Padahal, Septi yang berpendidikan sarjana kesehatan masyarakat, telah membuktikan pandangan itu keliru. Ibu rumah tangga tidak boleh diremehkan sebagai pekerjaan yang identik dengan dapur, daster, dan bawang. Karena amanah bagi seorang ibu sungguh luar biasa. Ketika berkeluarga, ibu rumah tangga justru harus terus-menerus belajar dan mengembangkan diri. Supaya ia paham dan terampil mengatur dirinya sendiri, mendidik anak, mengelola keluarga, bermanfaat bagi lingkungan, dan pastinya, memiliki akhlak mulia.

“Adalah hak anak sejak sebelum lahir untuk mendapatkan orangtua yang saleh dan salehah. Kita zalim pada anak kalau haknya ini tidak terpenuhi. Untuk itulah orangtua harus terus menuntut ilmu dan meningkatkan kualitas dirinya,” ujar Septi. Bahkan hak anak itu harus mulai disiapkan sejak kita memilih calon suami atau istri, yang nanti akan menjadi calon ayah atau ibunya.

Mengejar Kemuliaan

Mungkin pandangan yang meremehkan profesi ibu rumah tangga bermula sejak kita menerima saja kewajiban atau kelumrahan orang banyak untuk bersekolah. Septi merasa selama ini kita belajar tidak sesuai dengan pilihan kita. Bahkan terkadang hingga kuliah pun, kita tidak mengerti passion-nya apa. Padahal, perintah al-Quran adalah iqra’ dan thalabul ilmi. Tidak ada perintah mewajibkan sekolah. “Kita terjebak ke dalam sekolah yang kadang tidak ada thalabul ilmi-nya, melainkan hanya mengkuti kelumrahan orang, serta mengingat-ingat jam istirahat, jajan, dan pulang,” ujarnya.

Kita pun semakin terjebak, yakni ketika menerima saja pandangan tentang sekolah tinggi yang dilekatkan pada karir yang menjulang tinggi pula. Bukan supaya saleh dan salehah, atau berperan sebagai khalifah dan mencapai insan kamil. Maka, jadilah profesi ibu rumah tangga disepelekan.

Oleh sebab itu, Septi mengajak kita untuk mawas diri, apakah selama ini sudah benar-benar iqra’ dan thalabul ilmi? Kalau kita sudah bisa membaca diri dan lingkungan sekitar, maka nanti akan muncul suatu gairah untuk mengubah kekeliruan-kekeliruan di negara ini. Yang bisa kita lakukan dengan mengubah sistem pada negara kecil yang bernama keluarga. “Dengan mendidik anak kita, sebenarnya kita sedang mendidik satu generasi,” kata ibu tiga anak itu.

Septi mengungkapkan, seseorang yang bisa menjadi khalifah di muka bumi harus merdeka dan hanya bergantung kepada Allah SWT. Sehingga orangtua pun tidak boleh menindas anak, seperti penindasan dalam kebutuhan belajarnya. Contohnya, mungkin sebagai orangtua kita mengetahui atau menginginkan berbagai macam hal, tapi kita tidak boleh memberi dan memaksakan semua yang ada di kepala kita kepadanya.

Selera anak belum tentu cocok dengan keinginan kita. “Misalnya, setelah masuk usia sekolah saya beri pilihan kepada anak, apa dia ingin sekolah A, B, C, atau tidak sekolah,” tutut Septi. Hal inilah yang membuat anak-anak Septi memilih sendiri untuk home schooling. Sebagaimana usul untuk meniadakan televisi di rumahnya juga muncul dari anak-anak.

Kemampuan berbicara atau keakraban dalam mengobrol dan saling mendengarkan menjadi pegangan keluarganya. Seminggu sekali Septi dan suami terbiasa mengajak anak-anak mereka bercerita, yang mungkin mirip muhasabah di pondok pesantren. Setiap 1 Muharram, tiap anggota keluarga akan memperdengarkan mimpinya masing-masing. Anak berhak mengungkap pikiran dan melakukan keinginannya, selama hal itu baik atau tidak dilarang Allah dan Rasulullah saw.

“Ketika kami bersatu membangun keluarga ini, suami meminta kepada saya untuk bersama-sama memasuki universitas kehidupan dengan melepas semua titel yang ada. Kita masuk semester satu, dan anak yang lahir nanti menjadi teman kuliah. Kita bersama-sama kuliah untuk mengejar titel almarhum dan almarhumah di depan nama kita. Kalau rezeki itu sudah pasti, kemuliaanlah yang harus dicari,” kata pendiri Institut Ibu Profesional yang rumah virtualnya beralamat di www.ibuprofesional.com.

Bagaimana sahabat? Semoga kita ingat apa yang dikatakan Elan di awal tulisan ini. “Jangan jawab terserah” sehingga kita mengikuti anggapan keliru bahwa profesi ibu rumah tangga itu tidak keren. Betapa tidak elok rasanya kita fokus mengejar karir atau rezeki yang sudah pasti, namun di baliknya justru menzalimi anak dan membiarkannya ‘minum air kolam’. (Isa Hakari, koresponden lepas)

Sumber: DPU DT

Kelik Isbiyantoro

| I'm Moslem, Writer, Statistician, Designer. | Humorous, Perfectionist, Artistic. | "Will be the heir to heaven Al Firdaus" |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar