Semangat Tilawah Yaumiah 1 Juz Perhari


“Hendaklah anda memiliki wirid harian membaca Al – Qur’an minimal satu juz satu hari, dan berusahalah agar jangan sampai mengkhatamkan Al – Qur’an melewati satu bulan.” (Hasan Al – Banna dalam Majmuatur Rasail -Risalah Pergerakan-)

Saudaraku, sadarkah kita bahwa Al – Qur’an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy (spiritualitas), fikri (pemikiran) serta minhaji (metodologi dakwah). Sehingga jika sehari saja kita jauh dari Al – Qur’an, berarti terputuslah dalam diri kita proses tazwid tersebut. Sadarkah kita bahwa yang akan terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah. Baik itu dari televisi, Koran, majalah, maupun yang lainnya, yang sesungguhnya akan menyebabkan ruh ringkih dan keyakinan yang melemah terhadap fikroh dan minhaj. Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energy untuk berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahkan semangat beramal saleh dan hadir dalam halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen beramal saleh. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus sepekan, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan Al – Qur’an sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang ditinggalkan.” (Q.S. Al Furqan ayat 30)

Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi seorang muslim.

Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali (bahkan lebih, karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali). Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da’wah. Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan ibadah ini. Ketika kita melalikannya, dapat diyakini bahwa kendalanya adalah dha’ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan karena tidak mampu melafalkan ayat-ayat Al – Qur’an seperti anggapan kita selama ini. Yang harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca, namun lebih dari itu, bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi moralitas ta’abbud (penghambaan) kepada Allah, sehingga hal ini menjadi sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya perjalanan da’wah ini. Dari sini kita menjadi paham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entahlah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama ini komitmen dengan proses terbiyah, dengan seizing Allah kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidakmampuan kita kita terhadap ibadah ini dengan berlindung dibawah waswas syaithan dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.

Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kesibukan yang tidak pernah berakhir. Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia merupakan mentalitas ‘ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun islam dimuka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al – Banna Rahimahullah begitu yakinya dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca Al – Qur’an satu juz ini sebagai syarat pertama bagi seorang yang berkeinginan membangun masyarakat Islam. Dalam nasihatnya beliau mengatakan, “Wahai saudaraku yang jujur janjinya, sesungguhnya imanmu dengan bai’at (perjanjian) ini mengharuskanmu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batu bata yang kuat, (untuk itu) : “Hendaklah anda memiliki wirid harian membaca Al – Qur’an minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan Al – Qur’an melewati satu bulan.” Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kebidupan jahiliyah kepada kehidupan Islamiyah harus banyak menelan pih pahit selema proses tarbiyah, maka jika kita sudah berazam (bertekad) untuk meningkat kepada kehidupan yang ta’abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita harus kembali menelan banyak pil pahit tersebut.

Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebarannya yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variarif sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata yang kuat). Dalam hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi dengan Al – Qur’an. Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap Al – Qur’an mengalami proses peningkatan. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafusshalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al – Qur’an dalam satu bulan”, maka bagitu banyak yang menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal. Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu sebagai suatu yang maksimal. Maka tugas yang sangat minimal inipun sangat sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan (walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha di dalam berdakwah). Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i Radiyallahu Anhum. Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan Al – Qur’annya dalam waktu tiga hari sapai satu pekan. Kerena bagi mereka khatam sebulan terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah. Jadi, jika seseorang rutin setiap bulan khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya. Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan Al – Qur’an. Berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari Al – Qur’an. Kalau saja tarbiyyah qur’aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara surat an-Nissa, al-Maidah dengan surat lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca an-Nissa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus waspada, jangan sampai hidup ini berakhir dengan kondisi kita melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan. Padahal sesunggunya kita mampu kalau kita mau menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyah ini.

Kiat Mujahada dalam bertilawah satu juz:
1. Berusahalah melancarkan tilawah jika anda termasuk orang yang belum lancar bertilawah, karena ukuran normal tilawah satu juz adalah 30-40 menit. Jika lebih dari itu, anda harus lebih giat berusaha melancarkan bacaan. Jika melihat durasi waktu diatas, sangat logis untuk melakukan tilawah satu juz setiap hari dari waktu dua puluh empat jam yang kita miliki. Masalahnya, bagaimana kita dapat membangun kemauan untuk 40 menit bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa untuk 40 menit bersama televisi, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.
2. Aturlah dalam satu halaqah, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini. Misalnya, bagi anggota halaqah ia tidak boleh pulang kecuali telah menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca. Kiat ini terbukti lebih baik daripada ‘iqob (hukuman) yang terkadang hilang ruh tarbawi-nya dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.
3. Lalukanlah qadha tilawah setiap kali program ini tidak berjalan. Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah. Misalnya di mesjid atau tempat yang bagi diri kita asing. Kondisi ini akan menjadikan kita lebih sejenak untuk hidup dengan sendiri, membangun tarbiyah qur’aniyyah didalam diri kita.
4. Sering-seringlah mengadukan keinginan untuk dapat bertilawah satu juz sehari kepada Allah yang memiliki Al – Qur’an ini. Pengaduan kita yang sering kepada Allah yang sering, insya’allah menunjukkan kesungguhan kita dalam melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan dating pertolongan Allag yang akan memudahkan pelaksanaan ibadah ini.
5. Perbanyaklah amal saleh, karena setiap amal saleh akan menglahirkan energy baru untuk amal saleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan menghasilkan maksiat yang laen jika kita tidak segera bertaubat kepada Allah. Jika saat ini kita sering berbicara tentang ri’ayah maknawiyah (memperkaya jiwa), maka sesungguhnya Imam Syahid ini adalah cara me-ri’ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan saja dan dimana saja, ditinjau dari segi apapun, ibadah ini harus dilakukan. Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah Al – Qur’an merupakan sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia membutuhkan tsabat (keteguhan hati), nashrulllah (pertolongan Allah), istiqomah, sabar dan lain sebagainya, Al – Qur’an tempat meraih semua ini. Kita harus serius melihat kemampuan tarbawi dan ta’abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan ini.

Kendala yang harus diwaspadai:
1. Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca Al – Qur’an, sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali membaca Al – Qur’an.
2. Lemahnya pemahaman mengenai keutamaan membaca Al – Qur’an. Sehingga tidak termotivasi untuk bermujahadah dalam istiqomah membaca Al – Qur’an.
3. Tidak memiliki waktu wajib bersama Al – Qur’an dan terbiasa membaca Al – Qur’an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggalkannyalah Al – Qur’an.
4. Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini, sehingga tidak pernah memohon kepada Allah agar dimudahkan tilawah Al – Qur’an setiap hari. Materi do’a hanya berputar-putar pada kebutuhan dunia saja.
5. Terbawa oleh lingkungan disekelilingnya yang tidak memiliki perhatian terhadap ibadah Al – Qur’an ini. Rasulullah berabda, ”Kualitas dien seseorang sangat tergantung pada teman akrabnya.”
6. Tidak tertarik terhadap majelis-majelis yang menghidupkan Al – Qur’an. Padahal menghidupkan majelis-majelis Al – Qur’an adalah cara yang direkomendasikan Rasulullah agar orang beriman memiiliki ghirah berinteraksi dengan Al – Qur’an.”

Akibat tidak serius menjalankannya:
1. Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi Nampak berbagai macam prosuktifitas dakwah dan amal jihadi kita, namun dikhawatirkan keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
2. Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jidah salafusshalih saja tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunah bersiwak (gosok gigi), apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih besar dari itu? Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan Al – Qur’an selalu disinggung dengan ayat-ayat jihad, seperti surat Al-Anfaal dan al-Qitaal.
3. Terjauhnya sebuah asholah (keaslian/orisinalitas) dakwah. Sejak awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur’an. Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil qur’an kalau interaksi kita dengan Al – Qur’an sangat lemah? Bahkan sampai tak mencapai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar bertilawah satu juz saja?
4. Terjauhnya sebuah dakwah yang memiliki jawwul ‘ilmi (nuansa keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas kelimuan umat yang sumber utamanya dari Al – Qur’an. Maka minimnya kita dengan pengetahuan ke - Al – Qur’an-an akan sanagt berdampak pada lemahnya bobot ilmiyyah diniyyah (keilmuan agama) kita. Dapat dibayangkan kalu saja setiap kader beriltizam dengan manhaj tarbiyyah yang sudah ada. Lebih khusus pada kader senior. Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan lebih ilmiyyah.
5. Terjauhnya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini. Khususnya kitab Majmu’atur rosail (diterjemahkan oleh Ustadz Anis Matta dalam bahasa Indonesia dengan judul “Risalah Pergerakan”)! Anda akan dapat bigitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan Al – Qur’an. Tidakkah kita malu ber-intima’ (menyandarkan diri) pada dakwatul ikhwah, namun kondisi kita jauh dari manhaj-nya? Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar kita lebih serius lagi melaksanakan poin pertama dari pada wajibul akh (kewajiban aktiftis muslim) ini.

Di rangkum untuk tugas halaqah beberapa tahun yang lalu, dari kitab Majmu’atur rosail (40 Prinsip Hasan Al Bana)

Kelik Isbiyantoro

| I'm Moslem, Writer, Statistician, Designer. | Humorous, Perfectionist, Artistic. | "Will be the heir to heaven Al Firdaus" |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar